Minggu, 17 Januari 2010

AKUARIUM (Sapardi Djoko Damono)

kau yang mengatakan: matanya ikan!
kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya
    ikan!
kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya
    dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya
    ikan!
"Aku adalah air," teriakmu, "adalah ganggang adalah lumut
    adalah gelembung udara adalah kaca adalah ..."

Sabtu, 07 Februari 2009

Semiotika Indonesia

Info untuk semua. Sekarang ada blog khusus untuk belajar semiotika. Klik aja link-nya di judul posting ini, ya.

Sabtu, 12 Januari 2008

Yang Hitam Jadi Putih (2)

Biar aku jadi ini
Biar aku jadi itu
Biar aku jadi entah
Biar aku jadi apa

Biar aku jadi anumu!

Yang Hitam Jadi Putih (1)

Yang hitam jadi putih, lalu jadi buih
mengelus kaki-kakimu
yang bersenda-gurau di pantai.

Yang hitam jadi putih, lalu jadi awan
untuk kau jadikan payung
di siang yang lantang.

Biar jadi segala yang kau mau
Biar jadi segala yang kau perlu

Kamis, 20 Desember 2007

Ketupat, Rendang, dan Opor Ayam

Tiba lagi hari yang dinanti
ketupat, rendang, dan opor ayam tersaji
ada juga kue, mungkin juga roti
lalu di pucuk pagi
ada hati
bertulisan, "Lebaran ini selalu berarti
bagi kami
yang memupuk kikir, iri, serta dengki."

Wahai, Yang Mahabersih,
izinkan kami membilas diri
meski besok kaki bernajis lagi,
izinkan kami jadi Sisifus--tak lelah memanggul batu itu,
terpincang-pincang ke haribaan-Mu.

Minggu, 02 Desember 2007

Mengetahui dan Menilai


Mengetahui sesuatu tidak berarti kita mampu menilainya. Mengetahui si Polan belum berarti sanggup menilai si Polan. Mengetahui dan menilai berada di ranah yang berlainan.

Menyedihkan, acapkali kita terjerembab oleh ketidakpahaman mengenai perbedaan itu. Hanya karena tahu pekerjaannya, gelarnya (haji/ hajah, sarjana, pejabat, ustad), etniknya, bangsanya, penghasilannya, mobilnya, dan semua atribut yang kasatmata, kita merasa sanggup menilai manusianya; kita merasa pantas menilainya. Alangkah naifnya. Terperangkaplah kita oleh ketidakpahaman sendiri.

Menilai orang amat jauh berbeda dengan menilai barang. Benda mudah dinilai. Manusia? Bukan pekerjaan gampang. Sebab menilai manusia berarti menilai keseluruhan dirinya. Keseluruhan diri itu lebih dari sekadar atribut luar. Kita mesti menimbang-nimbang pemikirannya, pribadinya, jiwanya. Pada puncaknya, kita menilai ruh-nya. Adapun ruh itu tak kurang dari pemberian-Nya! Maka, tiap kali tebersit niat menilai, cobalah bertanya kepada diri kita sendiri, "Mampukah aku, layakkah aku menilai ruhnya?"

Sungguh, menilai manusia mesti dibarengi sikap arif--sikap yang bisa kita rengkuh bila sudah tiba pada taraf tertentu dalam hidup ini. Sebenarnyalah, menilai manusia itu tak lain dari menilai hidupnya. Maka, kita perlu juga bertanya, "Tahukah aku, pantaskah aku akan kehidupannya?" Jawabannya bisa kita peroleh jika sudah cukup makan asam garam dunia ini.

Betapa pelik perkara menilai manusia. Lalu, seandainya kita menyadari belum tiba pada taraf itu, pada sikap itu, janganlah patah arang. Bacalah, belajarlah, hiduplah! Pasti suatu hari kita akan sampai di sana.

Dan kalau Anda bertanya, "Kapan saya bisa sampai ke sana?", saya hanya bisa menjawabnya, "Eee ..., kok masih nanya? Belajar gih!" :-)

Rabu, 21 November 2007

Indonesia Raya




Ini Indonesia Raya versi tiga stanza. Mari kita renungkan bersama. Hiduplah Indonesia Raya!

Senin, 19 November 2007